Deskripsi Buku
Judul Buku: Onggi
100 Pentigraf tentang Korea
Penulis: Tengsoe Tjahjono
Desain Sampul dan Tata letak: Fadhilla
Gambar Sampul dan Isi: Tengsoe Tjahjono + Gemini
Penerbit: DELIMA
Redaksi: Mutiara Citra Asri-F2/39 Sidoarjo
Email: bukudelima90@yahoo.com
Telp: 081 332 599 637
Cetakan pertama, November 2025
Tentang Buku Ini
Taruh sebuah gentong di tengah meja, tutup rapat, lalu dengarkan: dari liang-liang tanah liat itu timbul suara waktu. Di Korea, onggi bukan sekadar bejana; ia adalah buku harian yang berpori—menyimpan cuaca, menyimpan ragi, menyimpan kata-kata yang tak sempat diucap. Ketika saya tiba di Seoul sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies (2014–2017), saya siap dengan silabus, materi, dan metode mengajar yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan mahasiswa Korea yang akan belajar tentang Indonesia. Selain itu, di samping kelas memanggil saya, yang juga paling sering memanggil adalah benda-benda sederhana: gentong di halaman hanok, mangkuk kimchi di meja warung, bunyi drum buk dari panggung pansori. Semua itu mengajari saya untuk membaca Korea dari sisi yang tak ditemukan di kampus. Pengalaman itu kemudian saya fermentasi menjadi cerita—potongan pendek dalam format pentigraf—sebagai upaya menangkap “rasa” yang selalu berubah namun tetap berakar. Pentigraf tersebut saya satukan dalam sebuah antologi yang saya beri tajuk Onggi. Sejumlah 100 pentigraf yang tersaji dalam antologi ini, dari Taman hingga Malam Semakin Larut, adalah seperti toples kecil: ada yang manis, ada yang getir, ada pula yang bergelembung sendu. Di dalam Taman misalnya, keindahan ginkgo yang semula penuh harap justru berakhir pada delete file di laptop; dalam Senja, mendaki gunung menjadi upaya melawan kesepian usia tua; sementara Selfie menyingkap luka cinta yang tak sembuh meski waktu bergulir. Pentigraf-pentigraf ini menyimpan sesuatu seperti halnya onggi: fragmen hidup yang pori-porinya meresapkan makna. Antologi Pentigraf Onggi bukan sebagai dokumentasi lapangan atau etnografi yang kaku, melainkan sebagai ruang dialog. Pada halaman-halaman berikut anda akan menemukan percakapan antara ilmu dan rasa, antara rumah dan perantauan, antara yang riuh dan yang bisu. Setiap pentigraf adalah pintu kecil. Bukalah pelan, cium aromanya, dan biarkan cerita-cerita itu berbicara. Bila gentong-mu terisi, rawatlah ia—sebagaimana budaya yang baik harus dirawat: dengan waktu, kesabaran, dan keberanian untuk mengaku bahwa kita juga, kadang, hanyalah benda yang menyimpan rasa orang lain.
Tengsoe Tjahjono

